Cabang Kantor Pos di Kabupaten dan Kota Bogor
01 September
Taman Safari Indonesia didirikan oleh Hadi Manansang dan sejak awal dikembangkan sebagai taman konservasi sekaligus wahana wisata edukatif. Bersama ketiga putranya—Jansen Manansang, Frans Manansang, dan Tony Sumampau—Hadi memulai usaha hiburan satwa dalam kelompok sirkus keliling sebelum akhirnya membuka Taman Safari I di Cisarua, Bogor, pada 1980. Saat ini, manajemen TSI Group telah diteruskan oleh generasi ketiga keluarga Manansang, dengan Willem Manansang memimpin operasional di berbagai lokasi (Bogor, Prigen, Bali, dan Jawa Tengah), serta perluasan ke sektor perhotelan di bawah merek Safari Resort dan Royal Safari Garden
Oriental Circus Indonesia (OCI) didirikan pada 1976 dan sempat berada di bawah Pusat Koperasi Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma sebelum berafiliasi dengan Taman Safari Indonesia (TSI) Group CNN Indonesia. Sirkus keliling ini menampilkan atraksi hewan dan seniman muda, termasuk anak-anak, hingga puluhan tahun. Taman Safari—berbasis konservasi satwa dan wahana edukasi—kemudian mengambil peran manajerial terhadap OCI, tetapi mengklaim entitasnya terpisah Taman Safari Indonesia.
Pengaduan Awal (April 2025). Sejumlah mantan pemain OCI mengadu ke Kantor Kemenkumham pada 16 April 2025, didampingi Wakil Menteri HAM Mugiyanto, menuntut keadilan atas dugaan penyiksaan dan kerja paksa sejak usia anak-anak
Fakta-fakta Eksploitasi. Terangkum dugaan eksploitasi eks-pemain sirkus, termasuk pemaksaan menelan kotoran hewan, penganiayaan fisik, dan isolasi dari keluarga
RDPU di DPR. Pada 21 April 2025, Komisi III DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan menghadirkan korban, legislator, dan perwakilan OCI. Sejumlah anggota DPR mendesak penyelesaian hukum, bukan sekadar kekeluargaan.
Korban melaporkan praktik kekerasan seperti:
Pemukulan dan penendangan oleh pelatih saat latihan kuda dan akrobat, menimbulkan cedera bertahun-tahun.
Pemaksaan menelan kotoran hewan, konon untuk “menguji loyalitas”, sebagaimana diceritakan salah satu mantan pemain dalam wawancara Tempo.
Isolasi emosional, di mana anak-anak dibawa jauh dari orang tua tanpa komunikasi rutin, menimbulkan trauma psikologis jangka panjang.
Komnas HAM memantau kasus ini sebagai dugaan pelanggaran HAM terhadap anak, karena ada laporan mulai perekrutan di bawah umur lima tahun. Menurut Convention on the Rights of the Child, mengeksploitasi anak di bawah umur untuk kekayaan materi melanggar hak dasar mereka. Kasus ini bahkan berlangsung sejak 1997 tanpa penyelesaian tuntas.
Meskipun OCI berstatus entitas terpisah, publik mengaitkan TSI Group karena keterkaitan manajerial. Di Instagram, akun resmi @tamansafari.id menerbitkan klarifikasi, menegaskan mereka hanya fokus pada konservasi satwa dan rekreasi edukatif, bukan operasional sirkus keliling Taman Safari Indonesia. Namun, reel terbaru dari Komnas Perempuan tentang laporan analisa pelanggaran HAM juga menampilkan logo TSI sebagai pihak terkait Instagram.
Pihak OCI dan TSI Group membantah semua tuduhan:
OCI menyatakan tidak ada kekerasan, bahwa “hewan saja kita sayang, apalagi manusia” . Mereka menawarkan penyelesaian secara kekeluargaan.
TSI Group menegaskan tidak ada hubungan struktural operasional dengan OCI, sehingga tak bertanggung jawab atas praktik sirkus Taman Safari Indonesia.
Komnas HAM: Ketua Atnike Nova Sigiro menyesalkan lambatnya penyelesaian kasus yang berlangsung 28 tahun. Komnas HAM mendorong investigasi ulang sesuai rekomendasi 1997 dan memanggil pihak terkait minggu ini.
Kementerian HAM: Wakil Menteri Mugiyanto menegaskan akan memfasilitasi mediasi, memanggil manajemen OCI dan TSI Group, serta memantau proses hukum jika mediasi gagal.
DPR RI: Fraksi PKB mendesak kasus ini segera naik ke ranah pidana agar “negara hadir demi keadilan korban”.
Media sosial memainkan peran krusial dalam mengungkap dugaan penyiksaan sirkus OCI dan pelanggaran HAM Taman Safari:
Instagram:
@tamansafari.id memuat klarifikasi resmi dan video rapat pimpinan, tetapi menuai komentar skeptis dari netizen.
Akun aktivis @komnasperempuan membagikan reel laporan analisis HAM, memicu tagar #JusticeForCircusKids.
@portalyogya di X (Twitter) mem-posting kutipan wawancara eks-pegawai yang viral dengan ribuan like dan komentar bertanya-tanya tentang “ekploitasi binatang vs eksploitasi manusia”.
Twitter (X):
Cuitan @soloposdotcom melaporkan Komnas HAM meminta penyelesaian hukum, di-retweet ribuan kali.
Tagar #StopEksploitasiSirkus dan #TSIExpose menjadi trending topic semalam, mendorong diskusi publik tentang regulasi industri hiburan satwa.
Secara hukum, dugaan ini menyentuh beberapa pasal:
Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35/2014: melarang kerja anak di bawah umur.
UU Kekerasan terhadap Anak No. 17/2016: mengatur tindak kekerasan fisik dan psikis.
Selain dugaan eksploatasi pekerja, muncul pula kekhawatiran eksploitasi hewan sirkus:
Suaragong menyoroti bahwa meski TSI berkomitmen pada konservasi, kurangnya pengawasan memungkinkan maltratment satwa untuk atraksi Suara Gong.
Investigasi Independen: Bentuk tim gabungan Komnas HAM, Kemenkumham, dan LPSK untuk memeriksa bukti dan saksi korban secara menyeluruh.
Perlindungan Saksi: Jaminan keamanan dan pendampingan psikologis bagi mantan pemain sirkus yang bersuara.
Reformasi Regulasi: Segera sahkan RUU Perlindungan Satwa dan Hiburan, sertakan pasal anti-eksploitasi manusia.
Kampanye Publik: Edukasi masyarakat melalui media sosial tentang hak pekerja sirkus dan kesejahteraan hewan.
Sanksi Tegas: Terapkan sanksi pidana dan administratif bagi pihak yang terbukti bersalah, baik individu maupun korporasi.
0 Komentar