|
Sumber Foto: Radar Bogor |
Menelitik kisah dan jejak kawin kontrak yang marak di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, tentu tidak akan ada habisnya. Hal ini dikarenakan kondisi yang sudah lama berlangsung dan sulitnya untuk diberantas.
Penampilan fisik yang memang keturunan asal Timur Tengah. Namun saat diajak berkomunikasi, ternyata bahasa sunda yang didengar. Demikian juga dengan cara penampilannya yang sudah menyesuaikan dengan warga lokal.
Seperti kisah seorang anak lelaki hasil kawin kontrak yang ditemui media, Rabu malam (18/9). Dia merupakand anak semata dari wayang Sri Lestari, wanita yang pernah melakukan kawin kontrak. Hasil dari nikah Mutah yang ia jalani selama empat tahun silam.
Sri sudah mengurusnya sejak usia satu tahun silam. Agar anaknya tersebut mendapatkan haknya. Ia kemudian belajar dari temanya yang memiliki anak hasil nikah mutah itu.
Kesulitan mendapatkan pendidikan dikarenakan tidak memilik akte kelahiran. “Sudah punya. Dibuatkan teman saya. Jadi tenang kalau nanti sekolah sudah ada akte,” jelasnya.
Sri mengaku untuk mendapatkan akte kelahiran menggunakan data dari pernikahan dengan mantan suaminya. “Saya sempat nikah sungguhan di KUA, langsung saya buat akte anak. Dan saat itu mantan suami saya juga yang mengurus,” tuturnya.
Kondisi ini merupakan dampak yang disebabkan dengan adanya hasil kawin kontrak. Hal itu dikatakan oleh Ketua MUI Kabupaten Bogor KH.Ahmad Mukri Aji. Ia menuturkan bahwa secara hukum, anak yang lahir sebagai buah hasil kawin kontrak ini dikategorikan sebagai anak dari luar pernikahan.
Mengingat kawin kontrak bukanlah suatu bentuk ikatan perkawinan yang sah berdasarkan hukum agama dan tidak tercatat berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
“Iya selain wanita yang menjadi objek. Juga berdampak pada anaknya. Baik secara administratif juga secara sosial. Mereka akan terlantar,” jelasnya.
Hukum kawin kontrak ini sudah sangat jelas diharamkan. Mukti Aji menjelaskan, praktik kawin kontrak sudah diharamkan sejak 25 Oktober 1977 melalui fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Para ulama yang mendudukkan peristiwa kawin kontrak tersebut pada konteksnya, pertimbangan kemudharatannya lebih banyak dibandingkan kebaikannya.
Sementara perkawinan yang hanya dinyatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum agamanya.“Kitapun sudah jelas menegaskan untuk kawin kontrak di kawasan puncak itu sangat diharamkan,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan, nikah mut’ah dengan menyebutkan syarat di dalam akad nikah dengan batasan waktu tertentu. Pernikahan ini telah disepakati keharamannya. Diantara dalil yang menyebutkan keharamannya adalah sabda Rasulullah, “Shahih Muslim juz 2 hal, 1025 nomor 1406, sudah jelas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Tokoh Agama Kabupaten Bogor itu juga menjelaskan, dari ketentuan hukum positif, kawin kontrak bukanlah ikatan lahir dan batin. Serta dilakukan bukan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan.
“UU Perkawinan juga mewajibkan pencatatan perkawinan untuk mendapatkan akta perkawinan,” tambahnya.
Akta perkawinan merupakan sebuah alat bukti telah terjadinya atau berlangsungnya sebuah ikatan perkawinan. Walaupun keberadaan akta perkawinan tidaklah untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan, namun syarat sah atau tidaknya perkawinan di Indonesia disesuaikan dengan hukum agamanya.
Maraknya pernikahan kontrak tersebut sudah dari dulu terjadi di daerah Puncak sekitarnya. Namun, entah sampai sejauh ini pihak pemerintah setempat kesulitan untuk menghapus bahkan menghilangkan kebiasaan tersebut. Mirisnya melihat anak - anak hasil pernikahan tersebut yang tanpa memiliki sosok ayah sedangkan sang ayah sebetulnya masih ada namun sudah kembali ke negara asal ataukah karena kontrak yang sudah selesai.
0 Komentar