Pada 2030, kebutuhan hunian di Kabupaten Bogor diperkirakan mencapai 400 ribu unit.
Untuk
mengantisipasi hal tersebut, Pemkab Bogor mendorong pengembang
perumahan menyediakan hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(MBR).
Hunian MBR telah tertuang dalam Perda Tentang Perumahan
dan Kawasan Pemukiman, yakni menyiapkan 20% dari unit hunian MBR dari
total luas yang mereka bangun.
Hingga akhir 2017 saja,
kebutuhan hunian di Bumi Tegar Beriman berkisar 100-150 ribu unit.
Dikhawatirkan, jika pemkab tidak melakukan upaya dan hanya berharap
masyarakat membeli rumah non-subsidi, maka warga pribumi akan tersingkir
dengan sendiri dari tanah kelahiran mereka.
"Kalau tidak
ditangani, tahun 2030 itu kekurangan rumah bisa sampai 400 ribu. Seperti
warga Jakarta nanti yang pada akhirnya, memilih tinggal di luar daerah
dengan harapan mendapat hunian dengan harga terjangkau," kata Kepala
Seksi Pengembangan Dinas Perumahan, Kawasan Pemukiman dan Pertanahan
(DPKPP) Kabupaten Bogor Suparno kepada INILAH, Kamis (13/12).
Opsi
lain, kata dia, ke depannya lahan-lahan tidak produktif akan dibangun
rumah susun sederhana sewa (rusunawa), seperti yang ada di wilayah
Kecamatan Cileungsi. Pemkab Bogor mengasumsikan, warga yang
berpenghasilan dibawah UMR bisa memiliki tempat tinggal yang memadai.
"Rata-rata
sewa satu unitnya itu Rp300 ribu per bulan dengan tipe 24. Rusunawa itu
kan bisa sewa selama 6 tahun. Asumsinya, dalam enam tahun itu, mereka
bisa mengumpulkan uang untuk beli rumah sendiri. Tapi, kalau masih belum
bisa beli juga, selama dia warga Kabupaten Bogor, tetap diizinkan
tinggal. Tidak akan diusir," tegas Suparno.
DPKPP mencatat,
pengembang perumahan di Kabupaten Bogor sebanyak 816 belum termauk 319
jenis klaster. Pihaknya mengaku kesulitan membatasi perumbuhan
perumahan, namun di sisi lain banyak masyarakat justru tidak memiliki
rumah sendiri.
"Perumahannya memang dibangun di Kabupaten
Bogor. Tapi yang beli belum tentu orang Bogor. Karena permasalahan harga
itu tadi. Pengendaliam juga susah. Paling yang membatasi itu ruang,
salah satunya lewat ketentuan teknis, Right Of Way (ROW) 8 meter, kalau
hanya 6 meter ditolak," ungkapnya.
Menurutnya, dalam
pembangunan perumahan, Pemkab Bogor setidaknya harus menyediakan
fasilitas seperti jalan yang bagus, sementara timbal balik yang diterima
Pemkab Bogor tak begitu tinggi.
"Beda dengan industri,
fasilitas dikasih, tapi feedback besar. Mendingan industri kalau bisa
milih, tapi kan butuh hunian juga," tuturnya.
Sementara Kepala
Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Pentaan Ruang (PUPR)
Kabupaten Bogor Suryanto Putra mengungkapkan, pembangunan hunian-hunian
baru justru kini bergeser ke wilayah-wilayah pinggir.
"Karena di
perkotaan semisal di Cibinong, sudah mungkin, apalagi untuk hunian
bersubsidi. Karena harga tanahnya sudah tinggi," kata Suryanto.
Lantaran
bergeser ke pinggiran, yang notabene persawahah, seperti Cibungbulang
maupun Kecamatan Ciampea. "Tapi perkembangannya tidak cepat. Karena
rumah bersubsidi juga harus didukung akses transportasi," kata dia.
Di
wilayah lain seperti Cileungsi, Gunungputri maupun Klapanunggal, yang
menjadi pusat produksi beras di Bumi Tegar Beriman pun rentan beralih
fungsi menjadi hunian.
Peraturan Daerah (Perda) Tentang Lahan
Pertanian Berkelanjutan pun menuntut dinas terkait mampu memastikan
sawah-sawah yang dilindungi, memiliki produksi yang baik setiap
tahunnya.
"Karena tekanan kebutuhan hunian di pinggiran itu
cukup tinggi. Dinas Pertanian pun harus realistis sawah-sawah yang
dilindungi nantinya bisa berproduksi dengan baik," kata dia.
Sumber: inilahkoran.com
#Bogor Channel
0 Komentar